MAKALAH STUDI HADITS
FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR’AN
(Diajukan Sebagai Tugas Individu Pada Mata Kuliah Studi
Hadits)
Dosen Pengampu
Dr. H. L. Supriadi Bin Mujib, MA

Zahraini
NIM. 15.4.14.1.036
PASCA SARJANA
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MATARAM
TAHUN AKADEMIK 2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN
Islam sebagai agama mempunyai
makna bahwa Islam memenuhi tuntutan kebutuhan manusia
dimana saja berada sebagai pedoman hidup baik bagi kehidupan duniawi maupun
bagi kehidupan akhirat. Dimensi ajaran Islam memberikan
aturan bagaimana caranya berhubungan dengan Tuhan atau khaliq, serta
aturan bagaimana caranya berhubungan dengan sesama makhluk, termasuk
didalamnya persoalan dengan alam.
Allah SWT mengutus
para nabi dan rasulnya kepada umat manusia untuk memberi petunjuk kepada jalan
yang benar agar mereka bahagia di dunia dan akhirat. Rasulullah lahir ke dunia
ini dengan membawa risalah Islam, petunjuk yang benar, hukum
syara’ seperti al Qur’an dan al Hadits.
Tidak semua ayat al Qur’an dapat dipahami secara
tekstual. Al Qur’an menekankan
bahwa rasul memiliki tugas untuk menjelaskan
maksud dan isi dari al Qur’an. Al-Quran dan hadits mempunyai hubungan
yang sangat erat dimana keduanya tidak dapat dipisahkan meskipun ditinjau dari
segi penggunaan hukum syari’at, hadis mempunyai kedudukan sederajat lebih
rendah dibandingkan al Qur’an. Hadits merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah al Qur’an. Keberadaan hadits dalam
kehidupan masyarakat menjadi penting tatkala dalam al Qur’an tidak memberikan penjelasan yang detail mengenai suatu permasalahan. Hal ini akan terasa
sekali ketika seseorang membaca atau mendapati ayat-ayat al Qur’an yang masih sangat
global, tidak terperinci, dan sering terdapat
keterangan-keterangan yang bersifat tidak muqoyyad seperti perintah tentang kewajiban shalat. Dalam al Qur’an tidak
dijelaskan bagaimana cara seseorang untuk mendirikan shalat, berapa raka’at
shalat, apa yang harus dibaca dalam shalat, dan apa saja syarat dan rukunnya. Akan tetapi, dari
hadist kita dapat mengetahui tata caranya sebagaimana yang telah disyariatkan. Oleh
karenanya, keberadaan hadist menjadi hal yang urgen melihat fungsi umum hadist
menjadi bayan atau penjelas ayat-ayat al Qur’an yang masih butuh kajian lebih
dalam untuk mengetahui makna yang
sesungguhya. Jika umat islam mempunyai pengetahuan yang sedikit tentang
hadist, maka akan sangat sulit bagi kita untuk menelaah lebih
dalam dan memahami ayat-ayat al-Qur’an.
Terkait dengan hal diatas, maka penulis
dalam makalah ini akan menguraikan tentang
apa fungsi hadits terhadap al Qur’an dan
bagaimana pendapat para ulama tentang
fungsi hadits dalam Islam.
BAB II.
PEMBAHASAN
A.
FUNGSI
HADITS TERHADAP AL QURAN
Al Qur’an dan Hadits
sebagai pedoman hidup sumber hukum dan ajaran Islam, tidak dapat dipisahkan
antara satu dengan lainnya. Al Qur’an sebagai sumber pertama memuat ajaran
ajaran yang bersifat mujmal atau umum dan global sedangkan hadits sebagai
sumber yang kedua berfungsi sebagai pemberi penjelasan atas keumuman isi al Qur’an
tersebut. Hal ini sesuai dengan Q.S an
Nahl ayat 44:
وانزلنا اليك الذكر لتبين
للناس …
Artinya: “…dan kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar
kamu menerangkan kepada umat manusia….”
Allah
menurunkan Az Zikr (Al Qur’an) bagi umat manusia agar dapat dipahami, oleh
karena itu maka Allah memerintahkan Rasulullah SAW untuk menjelaskannya. Dalam
menetapkan hukum, umat Islam mengambil hukum hukum Islam dari al Qur’an yang
diterima dari rasul SAW, yang dalam hal ini al Qur’an membawa keterangan
keterangan yang bersifat mujmal atau keterangan yang bersifat mutlaq. Karena
sifatnya yang mujmal, maka banyak hukum dalam al Qur’an yang tidak dapat
dijalankan bila tidak diperoleh syarah atau penjelas yang terkait dengan syarat- syarat, rukun-rukun, batal-batalnya
dan lain lain dari hadits Rasulullah SAW.
Dalam hal ini banyak juga kejadian yang tidak ada nash yang menashkan hukumnya
dalam al Qur’an secara tegas dan jelas. Oleh karena itu diperlukan ketetapan
dan penjelasan nabi yang telah diakui utusan Allah untuk menyampaikan syariat
dan undang undang kepada umat .
Firman Allah :
لقد هن الله على الموءمنين
اذابعث فيهم رسولامن انفسهم يتلواعليهم ءا يته و يزكيهم ويعلمهم الكتبو الحكمة وان
كانوا من قبل لفى ضلل مبين
Artinya: ”Sungguh
Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah
mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka al Kitab dan al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum
(kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
(Q.S: Ali Imran Ayat: 164).
(Q.S: Ali Imran Ayat: 164).
Jumhur
ulama berpendapat bahwa kata hikmah
diatas berarti keterangan keterangan agama yang diberikan Allah kepada Nabi
mengenai hikmat dan hukum yang disebut sunnah atau hadits.[1]
Hadits
adalah sumber kedua bagi hukum hukum Islam, menerangkan segala yang dikehendaki
al Qur’an, sebagai penjelas, pensyarah, penafsir, pentahsis, pentaqyid dan yang
mempertanggungkan kepada yang bukan zahirnya.
Para ulama
sepakat menetapkan bahwa hadits berkedudukan dan berfungsi untuk menjelaskan al
Qur’an.[2] Banyak ayat al Qur’an dan hadist
Rasulullah SAW yang memberikan penegasan bahwa hadist merupakan sumber hukum
Islam selain al Qur’an yang wajib diikuti.
a) Dalil al Qur’an
قل اطيعوا الله و الر سول فاءن تولوا فاءن
الله لا يحب الكا فرين
Artinya:
”Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (Q.S. al Imran:
32)
b) Hadits Rasulullah SAW.
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما
كتاب الله و سنة نبيه
Artinya:
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian yang kalian tidak akan tersesat
selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya”.
Berdasarkan ayat diatas, hadits merupakan salah satu sumber pegangan kita dalam menjalani
kehidupan ini yang harus kita ikuti agar kita bahagia hidup di dunia dan di
akherat. Hal ini juga ditunjukkan oleh hadits Muadz, juga sikap khulafaur rasyidun, bahwa hukum
syara’ pertama tama di dapat dari al Qur’an, kalau tidak ditemukan di dalamnya,
dicari dari sunnah atau hadits.[3]
Sehubungan
dengan hadits sebagai bayan alQur’an, maka hadits memiliki
4 macam fungsi terhadap
al Qur'an yaitu:[4]
1. Sebagai Bayanul Taqrir.
Dalam hal ini
posisi hadits sebagai taqrir (penguat) yaitu menetapkan dan memperkuat apa yang
telah diterangkan dalam al Qur’an. Fungsi hadits disini hanya memperkokoh isi
kandungan al Quran. Seperti hadits tentang shalat, zakat, puasa dan haji,
merupakan penjelasan dari ayat shalat, ayat zakat, ayat puasa dan ayat haji
yang tertulis dalam al Qur'an.
Contoh: Hadits Nabi tentang melihat bulan
untuk puasa Ramadhan
صو مو ا لرءويته و افطروالرءويته
Artinya: ”Berpuasalah kamu sesudah melihat
bulan dan berbukalah kamu sesudah melihatnya”. (HR. Muttafaq alaih).
Hadits ini menguatkan firman Allah SWT
فمن شهد منكم الشهر فليصمه
Artinya: ”Barangsiapa diantara kamu ada di
bulan itu, maka berpuasalah”. (Q.S. Al
Imran: 185)
Hadits di atas dikatakan bayan
taqrir terhadap ayat al Qur'an,
karena maknanya sama dengan al Qur'an,
hanya lebih tegas ditinjau dari bahasanya maupun hukumnya.
2.Sebagai Bayanul Tafsir
Dalam hal ini hadits berfungsi memberikan perincian dan penafsiran terhadap ayat ayat al Qur'an. Hadits sebagai tafsir terhadap al Qur'an terbagi setidaknya menjadi 3 macam fungsi, yaitu:[5]
Dalam hal ini hadits berfungsi memberikan perincian dan penafsiran terhadap ayat ayat al Qur'an. Hadits sebagai tafsir terhadap al Qur'an terbagi setidaknya menjadi 3 macam fungsi, yaitu:[5]
a. Menjelaskan ayat ayat
yang mujmal.
Hadis disini berfungsi menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan ibadah dan hukum hukumnya dari segi praktik, syarat, waktu dan tata caranya seperti dalam masalah shalat.
Hadis disini berfungsi menjelaskan segala sesuatu yang berhubungan dengan ibadah dan hukum hukumnya dari segi praktik, syarat, waktu dan tata caranya seperti dalam masalah shalat.
Ayat-ayat al Qur'an tentang masalah tersebut masih
bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syarat,
ataupun halangan-halangannya. Oleh karena itulah, Rasulullah SAW melalui
hadisnya menafsirkan dan menjelaskan seperti disebutkan dalam hadis
صلوا كما رايتمونى
اصلى
Artinya: “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat“ ( HR Ahmad dan Bukhari dari Malik bin Al Huwairits).
Hadis
ini menerangkan kemujmalan al Qur’an tentang
shalat, firman
Allah SWT.
واقيمواالصلاة واتوا الزكاة واركعوا مع الر كعين
Artinya: “ Dan dirikanlah
shalat,
tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ (Q.S. al-Baqarah: 43).
Contoh lainnya yaitu hadits dalam hal pelaksanaan ibadah haji wada’ Rasulullah SAW bersabda:
خذوا عنى منا سككم
Artinya: ”Ambilah dariku manasik hajimu”. ( HR.
Muslim, Abu Daud dan An Nasa’i).
Hadits ini merincikan kemujmalan firman
Allah SWT sebagai berikut:
واتموا الحج والعمرة لله
Artinya: ”Sempurnakanlah ibadah haji dan
ibadah umrahmu karena Allah”. (Q.S. al Imran: 196)
b. Menghususkan
ayat ayat al Qur’an yang bersifat umum .
Dalam hal ini hadits memperkhusus ayat-ayat al Qur'an yang bersifat umum, dalam ilmu hadis disebut takhshish al ‘amm.[6] Takhshîsh al-’âm ialah sunnah yang mengkhususkan atau mengecualikan ayat yang bermakna umum.
Dalam hal ini hadits memperkhusus ayat-ayat al Qur'an yang bersifat umum, dalam ilmu hadis disebut takhshish al ‘amm.[6] Takhshîsh al-’âm ialah sunnah yang mengkhususkan atau mengecualikan ayat yang bermakna umum.
Sabda Rasululah SAW:
احلت لنا ميتتان و د مان فا ما الميتتان
الحوت والجراد و اما الدمان فاالكبد والطحال
.
Artinya: ”Telah dihalalkan kepada kita dua
macam bangkai dan dua macam darah. Yang dimaksud dua macam bangkai adalah
bangkai ikan dan bangkai belalang. Sedangkan yang dimaksud dua macam darah
adalah hati dan limpa”. (Hadits Riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan
Al-Baihaqi).
Hadits ini mentahsis ayat al Qur'an
yang mengharamkan semua bangkai dan darah, sebagaimana firman Allah SWT :
حرمت عليكم الميتة والدم ولحم الحنزير
Artinya: ”Diharamkan atasmu bangkai, darah
dan daging babi” (Q.S. al Maidah: 3).
Dalam
ayat ini tidak ada pengecualian bahwa semua bangkai dan darah diharamkan untuk
dimakan akan tetapi Sunnah Rasulullah
SAW di atas mentakhshish atau mengecualikan darah dan bangkai tertentu.
Sabda Rasul SAW:
لا يرث المسلم الكافر ولا الكا فر المسلم
Artinya: ”Seorang muslim tidak
mewarisi orang kafir dan yang kafir tidak mewarisi seorang muslim”.(HR.
Al-Bukhari dan Muslim).
Hadits ini mentahsis firman Allah SWT:
يوصيكم الله في اولا دكم للذكر متل حص الا نثيين
Artinya: ”Allah mewasiatkan bahwa hak anakmu laki-laki
adalah dua kali hak anakmu yang perempuan”. (Q.S. An Nisa: 11).
Dalam ayat ini tanpa kecuali atau berlaku
umum bahwa semua anak mendapat warisan. Sedangkan keberlakuan hukum tersebut
hanya untuk anak yang agamanya sama muslim. Sunnah Rasul memberikan takhshish atau
pengcualian dengan sabdanya di atas:
c. Membatasi
lapaz yang masih mutlaq dari ayat ayat al Qur'an
(Sebagai Bayanul Muthlaq).
Hukum yang ada dalam al Qur'an bersifat mutlak amm (mutlak umum), maka dalam hal ini hadits membatasi kemutlakan hukum dalam al Qur'an. Sedangkan contoh hadits yang membatasi (taqyid) ayat-ayat al Qur’an yang bersifat mutlak adalah seperti Sabda Rasullullah:
Hukum yang ada dalam al Qur'an bersifat mutlak amm (mutlak umum), maka dalam hal ini hadits membatasi kemutlakan hukum dalam al Qur'an. Sedangkan contoh hadits yang membatasi (taqyid) ayat-ayat al Qur’an yang bersifat mutlak adalah seperti Sabda Rasullullah:
أتي رسول الله صلى الله عليه و سلم بسارق
فقطع يده من مفصل الكف
Artinya:
”Rasullullah didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong
tangan pencuri dari pergelangan tangan”.
Hadits ini men-taqyid firman
Allah yang berbunyi:
والسارق و السارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما
كسبا نكالامن الله و الله عزيز حكيم
Artinya:
”Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan, dan sebagai siksaan dari Allah sesungguhnya Allah maha Mulia
dan Maha Bijaksana”.( Q.S. al Maidah: 58).
Dalam
ayat di atas belum ditentukan batasan untuk memotong tangannya. Boleh jadi
dipotong sampai pergelangan tangan saja, atau sampai siku-siku, atau bahkan
dipotong hingga pangkal lengan karena semuanya itu termasuk dalam kategori
tangan. Akan tetapi, dari hadist nabi tersebut, kita dapat
mengetahui ketetapan hukumnya secara pasti yaitu memotong tangan pencuri dari
pergelangan tangan.
3. Sebagai Bayanul Naskhi
Dalam hal
ini hadits berfungsi sebagai penghapus hukum yang diterangkan dalam al Qur'an. Contoh hadist yang berfungsi sebagai bayan al-nasakh
:
لا وصية لوارث
Artinya: ”Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
Hadist ini menghapus ketentuan hukum dalam
al Qur’an tentang diperbolehkannya wasiat kepada ahli waris, sebagaimana firman Allah :
كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت إن ترك خيرا
الوصية للوالدين و الأقربين بالمعروف حقا على المتقين
Artinya:
”Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu
bapa dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah kewajiban atas orang-orang
yang bertaqwa”. (Q.S. al-Baqarah: 180).
Kata an-nasakh dari segi bahasa
memiliki bermacam-macam arti, yaitu al-itbat (membatalkan) atau al-ijalah
(menghilangkan), atau taqyir (mengubah). Para ulama mengartikan bayan
an-nasakh ini melalui pendekatan bahasa, sehingga di antara mereka terjadi
perbedaan pendapat dalam mentaqrifkannya. Hal ini pun terjadi pada kalangan
ulama muta’akhirin
dengan ulama mutaqaddimin. Menurut ulama mutaqqaddimin, yang disebut bayan an-nasakh ialah
adanya dalil syara’ (yang dapat menghapus ketentuan yang telah ada), karena
datangnya kemudian.[7]
Dalam hal bayan nasakh ini terdapat silang pendapat diantara para
ulama. Ada yang berpendapat boleh dan ada yang berpendapat tidak boleh. Mazhab Hanapi
termasuk kelompok yang membolehkan nasakh sunnah terhadap hukum ayat.[8] Sedangkan ulama ushul
berpendapat bahwa hukum dalam al Qur’an dapat dihapus oleh hukum dalam hadits
dan sebaliknya.[9]
Adapun Imam syafi’i berpendapat bahwa al
Qur’an tidak dapat dihapus oleh hadits.[10]
Dari
pengertian di atas jelaslah bahwa ketentuan yang datang kemudian dapat
menghapuskan ketentuan yang datang terdahulu. Hadis sebagai ketentuan yang
datang kemudian dari al Qur’an dalam hal ini, dapat menghapus ketentuan
dan isi kandungan al Qur’an. Demikianlah menurut ulama yang menganggap
adanya fungsi bayan an-nasakh.
4. Sebagai Bayanul Tasyri'
Bayan at tasyri’ adalah menetapkan hukum atau aturan aturan yang tidak didapati dalam al Qur’an. Hal ini berarti bahwa ketetapan hadits itu merupakan ketetapan yang bersifat tambahan hal-hal yang tidak disinggung oleh alQur’an dan hukum hukum itu hanya berasaskan hadis semata mata.
Bayan at tasyri’ adalah menetapkan hukum atau aturan aturan yang tidak didapati dalam al Qur’an. Hal ini berarti bahwa ketetapan hadits itu merupakan ketetapan yang bersifat tambahan hal-hal yang tidak disinggung oleh alQur’an dan hukum hukum itu hanya berasaskan hadis semata mata.
Hadis
Rasulullah SAW dalam segala bentuknya (baik yang qauli, fi’il maupun taqriri)
berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang
tidak terdapat dalam al Qur’an. Beliau berusaha menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat atau yang tidak
diketahuinya, dengan memberikan bimbingan dan menjelaskan persoalannya.
Suatu contoh hadis tentang zakat fitrah sebagai berikut:
أن الرسول الله صلى الله عليه و سلم فرض
زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعا من تمر أو صاعا من شعير على كل حر أو عبد ذكر
أو أنثى من المسلمين (رواه المسلم )
Artinya:
”Bahwasanya Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada
bulan ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik
merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuam muslim”.(HR. Muslim).
Hadits Rasulullah yang termasuk bayan al-tasyri’ ini, wajib
diamalkan, sebagaimana mengamalkan hadits-hadits lainnya.
B.
PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG FUNGSI HADITS DALAM ISLAM
Sehubungan dengan fungsi hadist sebagai penjelas
terhadap al Qur’an tersebut, para ulama berbeda pendapat dalam merincinya lebih
lanjut.[11]
a. Pendapat Ahl
ar-Ra’yi .
Menurut pendapat Ulama Ahl
ar-Ra’yi, penerangan al Hadits terhadap al Qur’an terbagi menjadi tiga
yaitu:
1. Bayan
Taqrir
Yakni keterangan yang didatangkan oleh as-Sunnah untuk menambah kokoh apa yang
telah diterangkan oleh al Qur’an.
2. Bayan
Tafsir
Yakni menerangkan apa yang kira-kira tidak mudah
diketahui pengertiannya
yaitu ayat-ayat yang mujmal dan mustarak fihi.
3. Bayan
Tabdil, Bayan Nasakh
Yakni mengganti sesuatu hukum
atau menasakhkannya. Menasakhkan al Qur’an dengan al Qur’an menurut
Ulama Ahl ar-Ra’yi, boleh. Menasakhan al Qur’an dengan as-Sunnah itu boleh
jika as-Sunnah itu mutawatir, masyhur, atau mustafidh.[12]
b. Pendapat
Malik
Malik berpendirian bahwa bayan (penerangan) al Hadits itu terbagi
menjadi lima yaitu:
1. Bayan
at-Taqrir
Yakni metetapkan dan mengokohkan hukum-hukum al Qur’an, bukan
mentaudhihkan, bukan mentaqyidkan muthlaq dan bukan
mentakhsihkan ‘aam.
2. Bayan
at-Taudhih (Tafsir)
Yakni menerangkan maksud-maksud ayat, seperti hadits-hadits yng
menerangkan maksud ayat yang dipahami oleh para sahabat berlainan dengan yang
dimaksudkan oleh ayat.
3. Bayan
at-Tafshil
Yakni menjelaskan mujmal al Qur’an, sebagai hadits yang men-tafshil-kan
kemujmalan.
4. Bayan
Tasyri’
Yakni mewujudkan suatu hukum yang tidak tersebut dalam al Qur’an,
seperti menghukum dengan bersandar kepada seorang saksi dan sumpah apabila
si mudda’i tidak mempunyai dua orang saksi, dan seperti ridha’ (persusuan)
mengharamkan pernikahan antara keduanya.
c. Pendapat
As-Syafi’i
As-Syafi’i di antara Ulama Ahl al-Atsar menetapkan,
bahwa penjelasan al Hadits terhadap al Qur’an dibagi terbagi lima, yaitu:
1. Bayan Tafshil,
menjelaskan ayat-ayat yang mujmal yang sangat ringkas petunjuknya
2.
Bayan Takhsish, menentukan sesuatu dari umum ayat.
3. Bayan Ta’yin,
menentukan nama yang dimaksud dari dua tiga perkara yang mungkin dimaksudkan.
4. Bayan Tasyri’,
menetapkan suatu hukum yang tidak didapati dalam al Qur’an.
5. Bayan Nasakh,
menentukan mana yang dinasikhkan dan mana yang dimansukhkan dari ayat-ayat al Qur’an.
d. Pendapat
hambali
1. Bayan Ta’kid yaitu
Menerangkan apa yang dimaksudkan oleh al
Qur’an.
2. Bayan Tafsir yaitu
Menjelaskan sesuatu hukum dalam al
Qur’an.
3. Bayan Tasyri’ yaitu
Mendatangkan suatu hukum yang tidak ada hukumnya dalam al Qur’an.
4. Bayan Takhsish dan Taqyid yaitu Mengkhususkan al Qur’an dan
mentaqyidkannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka hadis merupakan dasar hukum Islam
setelah al Qur’an. Umat Islam harus mengikuti petunjuk hadis sebagaimana
dituntut untuk mengikuti petunjuk al Qur'an.
Allah memerintahkan kita mengikuti Rasul sebagaimana mentaati Allah. Firman
Allah:
وما اتا كم الر سول فخذو ه ومانهاكم عنه
فانتهو
Artinya: ”Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”. (Q.S. al Hasyr: 7)
واطيعوا الله و الرسول لعلكم ترحمون
Artinya: ”Dan
taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. (Q.S ali Imran:132)
Mengikuti rasul, atau menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya
adalah mengikuti sunnahnya atau haditsnya yang berupa perkataan, perbuatan
taqrir dan sebagainya.Wajib mengikuti rasul merupakan kewajiban dan berlaku untuk semua umat untuk seluruh
masa dan tempat. Oleh karena itu semua hadis yang diakui sahih dan tidak
berlawanan dengan suatu petunjuk al Qur'an
sama sama wajib diikuti oleh semua umat.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan.
1. Al Qur'an dan Hadits adalah sebagai pedoman hidup, sumber
hukum dan ajaran dalam Islam, antara satu dengan yang lain tidak dapat
dipisahkan. Dengan kata lain, hadist adalah sumber hukum Islam kedua
setelah al Qur’an. Hadits sebagai penjelas (bayan) terhadap al Qur’an mempunyai
empat(4) macam fungsi, yaitu:
a. Bayan
al-taqrir di sebut juga dengan bayan al-ta’qid dan bayan
al-isbat yaitu menetapkan dan
memperkuat apa yang telah di terangkan dalam al Qur’an
b. Bayan
al-tafsir adalah fungsi hadits yang memberikan rincian dan tafsiran
terhadap ayat-ayat al Qur’an yang masih bersifat global (mujmal),
memberikan persyaratan atau batasan (taqyid) ayat-ayat al
Qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhshish) ayat
al Qur’an yang masih bersifat umum.
c. Bayan at-tasyri’ adalah
mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al Qur’an
atau dalam al Qur’an hanya terdapat pokok-pokoknya saja
d. Bayan at-nasakh yaitu
penghapusan hukum Syar'i dengan suatu dalil syar'i yang datang kemudian
2.
Pendapat Para Ulama Tentang Fungsi Hadits Dalam Islam
a. Menurut Pendapat Ahl
ar-Ra’yi meliputi bayan taqrir,
bayan tafsir, bayan tabdil/bayan nasakh.
b. Menurut Pendapat
Malik meliputi bayan at-taqrir, bayan at taudlih, bayan tafshil,
bayan tasyri’.
c. Menurut Pendapat
Asy-Syafi’y meliputi bayan Tafshil, bayan Takhsish,
bayan Ta’yin, bayan Tasyri’, bayan Nasakh,
d. Menurut Pendapat Imam Hambali meliputi bayan
ta’kid, bayan tafsir, bayan tasyri’, bayan takhsish dan taqyid
DAFTAR PUSTAKA
Al Albani, M Nashiruddin. Ringkasan Shahih Bukhari
(Jakarta: Gema Insani, 2003).
Al Maliki, M Alawi. Ilmu Ushul Hadits (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).
Al Qardhawi, Yusuf. Pengantar Studi hadit (Bandung: Pustaka Setia, 2007).
B Smeer, Zeid. Ulumul
Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis (UIN Malang Press, 2008).
Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahannya (Jakarta:
Departemen Agama RI 2008).
Khaeruman, Badri. Ulum Al Hadis
(Bandung: Pustaka Setia, 2009).
Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 1999).
Muhaimin dkk. Studi Islam Dalam Rangka Dimensi dan Pendekatan
(Jakarta: Kencana, 2012).
[1]
Badri Khaeruman, Ulum Al Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h.
46.
[2] Ibid
[3]
Yusuf Al Qardhawi, Pengantar Studi
hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h.
105.
[4]
Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung:
Pustaka Setia, 1999), h. 76.
[5]
M. Alawi Al Maliki, Ilmu Ushul Hadits
( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h.
10.
[6]
Muhaimin.
dkk., Studi Islam dalam Rangka
Dimensi dan Pendekatan, (Jakarta:
Kencana, 2012), h. 135.
[7]
Ibid.
[8]
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 17.
[9]
Muhaimin. dkk, Studi Islam ..., h. 141.
[10]
Ibid.
[11]
Badri Khaeruman, Ulumul..., h. 48.
[12]
Ibid.
Maaf itu albaqarah 196 bukan al imran mohon d koreksi
BalasHapus