PENGERTIAN ULUMUL QUR’AN.
Kata ‘ulum al-Qur’an tersusun dari dua kalimat yaitu علوم dan kata القران. Kata ulum merupakan jamak dari kata علم, yang mana menurut bahasa kata ilmu berarti faham atau mengetahui. Kata ilmu berkembang dengan berbagai istilah dan masing-masing ulama berbeda pendapat mengenai pengertian ilmu.
1. Menurut M. Abdul Azhiem Zarqoni ilmu adalah hal hal yang sudah diketahui yang dirumuskan dalam satu kesatuan judul atau satu kesatuan tujuan, baik hal-hal yang sudah diketahui tersebut bersifat gambaran atau bersifat nyata.
2. Menurut ahli filsafat.
Ilmu merupakan suatu gambaran sesuatu yang terdapat dalam akal.
3. Menurut ahli teologi.
Ilmu adalah suatu sifat yang dengan sifat itu orang yang memilikinya akan jelaslah baginya suatu urusan. Diantara ahli teologi ada yang berpendapat bahwa ilmu ialah sifat yang mewajibkan pemiliknya mampu membedakan dengan panca indranya.
4. Menurut Imam Gazali dalam kitab Ihya Ulumudin.
Ilmu adalah mengetahui Allah, tanda tandanya kekuasannya, perbuatannya pada hamba hamba dan maklhluknya,
5. Menurut As-Sa’du dalam kitabnya al-Maqosid.
Ilmu adalah kelompok-kelompok dari berbagai jenis gambaran maksudnya segala macam permasalahan yang dirumuskan dalam satu disiplin pengetahuan yang terdapat dalam akal pikiran.
Sedangkan pengertian al-Qur’an, menurut bahasa kata al-Qur’an merupakan masdar yang maknanya sama dengan kata qira’ah yang berarti bacaan sebagaimana firman Allah:
¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ #sÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ
Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkan dan membacanya, maka apabila kamu selesai membacanya maka ikutilah bacaannya”.
Kemudian kata al-Qur’an dipindah dari arti masdar dan dijadikan sebagai nama dari firman Allah yang mengandung mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Menurut mayoritas ahli bahasa Arab seperti al-Lihyani mengatakan bahwa bentuk kalimatnya masdar tetapi yang dikehendaki dari kalimat itu adalah maf’ul yaitu yang dibaca. Sebagian ahli bahasa berpendapat bahwa kata al-Qur’an merupakan kata sifat dari kata القر yang berarti “mengumpulkan atau menggabungkan”. Sebagian lagi berpendapat bahwa kata al-Qur’an diambil dari kata قراءن. Oleh karena itu sebagian ulama berpendapat bahwa kata al-Qur’an tidak berhamzah dan tidak pula memakai ال.
Selain dinamakan al-Qur’an kitab ini juga bernama al-Furqon artinya firman Allah yang membedakan antara yang hak dan yang bathil atau pembeda antara satu ayat dengan ayat lainnya dalam hal turunnya. Nama al-Qur’an merupakan sebagian nama diantara sekian banyak nama-nama al-Qur’an yang paling terkenal.
Sedangkan pengertian al-Qur’an secara istilah. Sebagaimana kita ketahui bahwa al-Qur’an adalah firman Allah bukan seperti ucapan manusia, tanpa keraguan dan dimaklumi juga manusia itu mempunyai ucapan, terkadang yang dikehendaki dengan pembicaraan itu makna masdar yang berarti berbicara dan terkadang yang dikehendaki makna yang dihasilkan oleh masdar tersebut yaitu isi pembicaraan. Masing-masing dua makna ini mempunyai arti yaitu lafzi dan nafsi. Maka pembicaraan manusia yang sifat lafzi yaitu seorang manusia menggerakkan lidahnya dan apa saja yang dapat membantunya mengeluarkan huruf sesuai makhrajnya. Sedangkan pembicaraan manusia yang sifat lafzi dengan makna yang dihasilkan dengan makna masdar adalah kalimat-kalimat yang dibaca yang merupakan praktek pengungkapan suara yang hissi/tampak. Adapun kalam nafsi dengan arti masdar yaitu kalam nafsi dengan arti seorang manusia menghadirkan dengan kekuatan berbicaranya secara bathin pada dirinya terhadap kalimat-kalimat yang belum jelas ke masing-masing indranya. Sedangkan kalam nafsi dengan arti sesuatu yang dihasilkan dari masdar yaitu kalimat-kalimat nafsi dan lapaz-lapaz yang sifatnya masih dalam bayangan yang tersusun secara aqli yang bergantung kepadanya susunan kalimat yang dikeluarkannya. Salah satu contoh kalam manusia yang nafsi dengan dua arti yang dikandungnya firman Allah Q. S. Yusuf ayat 77.
Begitu juga yang merupakan kalamullah kadang diistilahkan dan ditujukan kepada kalam nafsi dan terkadang dimaksudkan dengan kalam lafzi, pendapat ini dikemukan oleh ahli kalam.
1. Menurut ulama mutakallimin al-Qur’an memiliki satu diantara 2 definisi antara lain:
a. Al-Qur’an adalah firman yang sempurna dibandingkan dengan firman-firman Allah yang lain.
b. Al-Qur’an adalah firman Allah dan firman Allah itu bersifat qadim bukan makhluk sehingga wajib disucikan dari segala bentuk kebaharuan.oleh karena itu ulama mutakallimin mendefinisikan al-Qur’an: lapaz yang diturunkan kepada nabi SAW dari awal surat fatihah sampai akhir surat an-naas yang sempurna dengan ciri khasnya tersendiri.
2. Menurut ulama ushul dan para fuqaha dan ahli bahasa.
Mereka berbeda pendapat tentang arti kata al-Qur’an, ada 3 macam pendapat:
a. Sebagian mendefinisikan dengan definisi yang panjang dan luas dengan menyebutkan semua kekhususan al-Qur’an yang sempurna. Mereka berpendapat bahwa al-Qur’an adalah firman Allah yang mengandung mukjizat yang diturunkan kepada Nabi SAW yang tertulis dalam mushaf-mushaf yang diriwayatkan secara mutawattir, yang bernilai ibadah dalam membacanya.
b. Sebagian mendefinisikannya dengan makna yang padat dan ringkas. Sebagian dari mereka ada yang membatasi dengan menyebutkan satu sifat saja yaitu sifat kemukjizatan al-Qur’an. Mereka beralasan bahwa sifat kemukjizatan itu merupakan sifat yang mendasar karena sifat itu merupakan tanda kekuasaan Allah yang terbesar terhadap kebenaran nabi SAW dan sebagai saksi yang adil yang menunjukkan bahawa al-Qur’an adalah firman Allah. Sebagian dari mereka hanya membatasi dengan menyebutkan 2 sifat saja yaitu sifat turunnya al-Qur’an dan sifat kemukjizatannya. Mereka berdalil bahwa selain dari dua sifat ini bukanlah merupakan sifat yang harus ada pada al-Qur’an. Dan sebagian dari mereka hanya membatasi dan menyebutkan sifat dituliskan di mushaf dan sifat kemutawattirannya. Mereka berdalil bahwa dua sifat tersebut menunjukkan sampainya sesuatu yang dituju yaitu menerangkan al-Qur’an dan membedakannya dengan kitab kitab yang lainnya.
c. Sebagian mendefinisikan dengan cara tidak terlalu panjang dan tidak terlalu pendek. Menurut mereka al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada nabi SAW yang diriwayatkan secara mutawattir yang bernilai ibadah bagi yang membacanya.
Setelah membahas kata ulum dan al-Qur’an yang terdapat dalam kalimat ulumul Qur’an, yang disusun secara idhofi, tersusunnya kalimat ulumul Qur’an secara idhofi mengisaratkan adanya bermacam-macam ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan al-Qur’an. Seperti ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasm utsmani, ilmu I’jaz al-Qur’an, ilmu asbabun nuzul, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu I’rab al-Qur’an, ilmu gharib al-Qur’an dan lain lain.
1. Menurut Zarqoni ulumul al-Qur’an adalah pembahasan masalah-masalah yang berhubungan dengan al-Qur’an, dari segi urutannya, pengumpulan, penulisan, bacaan, penafsiran, mukjizat, nasikh dan mansukh dan bantahan-bantahan terhadap hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan-keraguan dan sebagainya.
2. Imam As-Suyuthi memberikan definisi ulumul al-Qur’an sebagai suatu ilmu yang membahas tentang kedaaan al-Qur’an dari segi turun, sanad, adab dan makna-makna dan sebagainya.
3. Menurut Manna’ al-Qattan.
Ulumul Qur’an adalah ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan qur’an dari segi asbabun nuzul, sebab sebab turunnya al-Qur’an, pengumpulan dan penertiban al-Qur’an, pengetahuan tentang surat-surat Mekah dan Madinah, nasikh wal mansukh, muhkam wal mutasyabih dan lain sebagainya yang berhubungan dengan al-Qur’an.[1]
4. Menurut Syekh Muhammad Ali al Shabuniy dalam kitab at-Tibyan.
Ulumul Qur’an adalah Beberapa pembahasan yang ada kaitannya dengan al-Qur’an baik mengenai turunnya, penghimpunannya, urutan-urutannya, pencatatannya, pengetahuan tentang asbab al nuzulnya, makiyah dan madaniahnya, nasikh-nasikhnya, muhkam-mutasyabihnya dan berbagai hal yang pembahasannya terkait erat dengan al-Qur’an atau sedikit banyak yang ada hubungan dengannya.[2]
5. Menurut T.M Hasbi As-Shiddiqie
Ulumul Qur’an ialah pembahasan-pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an, dari segi nuzulnya, tertibnya, mengumpulnya, menulisnya, membacanya dan menafsirkannya, I’jaznya, nasikh mansukhnya, menolak syubhat-syubhat yang dihadapkan kepadanya.[3]
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai definisi ulumul Qur’an di atas,
Maka ruang lingkup pembahasan ulumul Qur’an adalah seluruh cakupan ilmu yang lengkap yang ada hubungannya dengan al-Qur’an berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu bahasa Arab seperti ilmu I’rabil Qur’an.Ilmu ini mencakup berbagai cabang ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an dengan menitikberatkan pada pembahasan masing-masing. Sehubungan dengan ruang lingkup pembahasan
ulumul Qur’an yang luas dan mendalam maka mempelajari ilmu ini sangatlah penting terutama bagi orang yang ingin menafsirkan al-Qur’an. Karena tanpa memahami ilmu ini maka seseorang dalam menafsirkan al-Qur’an akan mengalami kesalahan.
Selain itu, pendapat-pendapat di atas, pada dasarnya memiliki kesamaan. Keduanya menunjukkan bahwa ulumul Qur’an adalah kumpulan sejumlah pembahasan yang pada mulanya merupakan ilmu-ilmu yang berdiri sendiri. Ilmu-ilmu ini tidak keluar dari ilmu agama dan bahasa. Masing-masing menampilkan sejumlah aspek pembahasan yang dianggap penting. Objek pembahasannya adalah Al-Qur’an. Di samping terdapat persamaan maka terdapat juga perbedaan. Adapun perbedaannya terletak pada tiga hal:
1. Aspek pembahasannya: definisi pertama menampilkan sembilan aspek pembahasannya dan yang kedua menampilkan hanya lima dari padanya.
2. Meskipun ke duanya tidak membataskan pembahasannya pada aspek-aspek yang ditampilkan, namun definisi Zarqoni lebih luas cakupannya dari yang definisi yang dikemukakan oleh Manna al-Qattan. Sebab, definisi pertama diawali dengan kata Mabaahitsu yang merupakan bentuk jama’ yang tidak berhingga dan menyebut secara eksplisit penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keragu-raguan terhadap al-Qur’an sebagai bagian dari pembahasannya. Sedangkan definisi yang kedua tidak demikian.
3. Pada perbedaan aspek pembahasan yang ditampilkan tidak semuanya sama di antara ke duanya. Definisi pertama disebutkan bahwa penulisan al-Qur’an, Qiraat, penafsiran dan kemu’jizatan al-Qur’an sebagai bagian pembahasannya. Sementara itu, dalam definisi ke dua semua itu tidak disebutkan[4]
Dengan melihat persamaan dan perbedaan antara kedua defenisi di atas dapat diketahui bahwa defenisi Zarqoni lebih lengkap dibanding dengan defenisi al-Qattan. Dengan demikian definisi Manna al-Qattan lebih akomodatif terhadap ilmu-ilmu al-Qur’an yang selalu berkembang.
Penjelasan di atas juga menunjukkan adanya dua unsur penting dalam definisi Ulumul Qur’an. Pertama, bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah pembahasan. Kedua, pembahasan-pembahasan ini mempunyai hubungan dengan al-Qur’an, baik dari aspek keberadaannya sebagai al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandungannya sebagai pedoman dan petunjuk hidup bagi manusia.[5]
Al-Qur’an adalah kitab yang mengandung hidayah atau petunjuk dan mengandung mukjizat, baik dari segi turunnya atau isinya atau lainnya. Oleh karena itu setiap ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an baik dari segi bacaannya, atau dari segi kandungannya hidayah dan mukjizat semua itu bermuara bersumber dari ulumul al-Qur’an. Seperti ilmu agama dan ilmu bahasa arab. Adapun ilmu yang membahas tentang alam, ilmu arsitek, matematika, kimia ekonomi dan sebagainya bukanlah berasal dari ulumul al-Qur’an tetapi al-Qur’an menganjurkan kita untuk mempelajari ilmu ilmu tersebut.
Al-Qur’an menganjurkan para pembacanya untuk senantiasa mempelajarinya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan alam semesta. Hal tersebut bertujuan agar seseorang dapat mengambil mamfaat dari apa yang ada di alam semesta agar seseorang dapat memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah ketika ia melihat ciptaannya. Firman Allah:
Karena tujuan hidup manusia di alam ini untuk mendatangkan suatu kebaikan, dan keselamatan baik di masa lalu maupun sekarang. Oleh karena itu seseorang dituntut untuk menjadi pintar dalam setiap ilmu baik ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an ataupun ilmu-ilmu yang lain. Al-Qur’an merupakan kitab yang mengandung hidayah dan mukjizat bagi makhluknya, al-Qur’an menyeru kepada mansuia untuk memanfaatkan akalnya dan membuka mata untuk melihat apa yang ada di alam ini seperti langit, bumi, daratan, lautan, hewan, tumbuhan dan sebagainya. Diantara contoh-contoh yang terdapat dalam al-Qur’an tentang keharusan manusia untuk melihat dan berfikir tentang alam. Q. S. an-Nur ayat 43.
óOs9r& ts? ¨br& ©!$# ÓÅe÷ã $\/$ptx §NèO ß#Ïj9xsã ¼çmuZ÷t/ §NèO ¼ã&é#yèøgs $YB%x.â utIsù Xôtqø9$# ßlãøs ô`ÏB ¾Ï&Î#»n=Åz ãAÍit\ãur
z`ÏB Ïä!$uK¡¡9$# `ÏB 5A$t7Å_ $pkÏù .`ÏB 7tt/ Ü=ÅÁãsù ¾ÏmÎ/ `tB âä!$t±o ¼çmèùÎóÇtur `tã `¨B âä!$t±o ( ß%s3t $uZy
¾ÏmÏ%öt/ Ü=ydõt Ì»|Áö/F{$$Î/ ÇÍÌÈ
Dalam ayat tersebut Allah SWT menyuruh manusia untuk melihat bukti kekuasaan Allah tentang bagaimana proses terjadinya awan, kemudian hujan dan petir.
[1] Manna’ Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu Ilmu Qur’an, terjm. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013), h. 8-9.
[2] Usman, Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 3.
[3] T. M. Hasbi As-Shiddiqie, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an (Jakarta: Bulan Bintang: 1993), h.10-11.
[5] Muhammad Nasir, Ulumul Qur’an Pengertian dan Sejarah Perkembangannya, Ruang Lingkup, Faedah serta Urgensi Mempelajarinya,(Internet: Blog Bayodaulay, 2013) h.1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar